Narata.co, Aceh Utara — Dua dekade setelah penandatanganan nota kesepahaman(MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh masih menanti pemulihan serta keadilan. Salah satunya adalah Muhammad Syukur, korban Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 3 Mei 1999. Dia hingga kini mengalami gangguan kejiwaan sejak menderita luka tembak pada tragedi Simpang KKA, saat itu usianya masih 14 tahun.
Muhammad Syukur ditembak di bagian perut dalam insiden kekerasan di Simpang KKA, Aceh Utara, yang menewaskan 21 warga sipil dan melukai 146 lainnya. Sejak saat itu, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan dan kini hidup dalam kondisi ekonomi sulit bersama keluarganya di Kabupaten Bireuen.
“Sampai sekarang saya belum bisa melupakan. Saya masih trauma,” ujar ibunya, Kamaliah Amin yang telah berusia 73 tahun.
Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP KKA), Murtala, menyayangkan belum adanya program pemulihan trauma dan pemberdayaan khusus bagi korban konflik. Ia juga menyoroti minimnya perhatian negara terhadap kebutuhan dasar korban, termasuk kesehatan mental dan pemulihan ekonomi.
“Sudah 26 tahun kami menuntut keadilan, tapi nyaris tak ada yang mendengar. Kami menuntut bukan hanya pemulihan, tapi juga peradilan,” kata Murtala, Rabu (6/8/2025).
Tragedi Simpang KKA merupakan satu dari empat peristiwa yang diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat pada Januari 2023, bersama dengan peristiwa Rumoh Geudong, Pos Sattis Pidie, dan Jambo Keupok. Namun, sejumlah peristiwa lain yang tak diakui, seperti pembantaian di Sungai Arakundo, penembakan di Dayah Tgk. Bantaqiah, serta penghilangan paksa di Bener Meriah, belum mendapatkan penanganan serupa.
Yusrizal (44), penyintas sekaligus Sekretaris FK3T-SP KKA, mengaku para korban merasa dipaksa berdamai dengan masa lalu yang belum tuntas. Ia menilai distribusi bantuan tidak merata dan cenderung diskriminatif, termasuk dalam hal gender.
“Ada kesenjangan antara korban laki-laki dan perempuan dalam akses bantuan. Banyak bantuan tidak tepat sasaran karena data korban tidak tertib,” kata Yusrizal.
Ia juga menilai dana otonomi khusus yang besar tidak diarahkan secara signifikan untuk korban konflik. Padahal, harapannya, 20 tahun setelah damai, korban bisa berdaya dan bangkit.
Menurut Murtala, Aceh belum memiliki rencana induk (masterplan) pemulihan korban konflik. Ia mendorong pemerintah menyediakan anggaran khusus untuk peringatan tragedi seperti Simpang KKA, Rumoh Geudong, Jambo Keupok, dan lainnya.
“Pemulihan harus meliputi bantuan psikologis, ekonomi, hingga pembangunan museum sebagai ruang memorial kolektif. Generasi muda juga perlu memahami sejarah konflik Aceh melalui kurikulum pendidikan,” ujar Murtala.
Ia menegaskan bahwa pemulihan tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga keadilan. Menurutnya, negara harus mempertemukan pelaku dengan keluarga korban dan memproses hukum pelanggar HAM.
“Tanpa pemulihan dan keadilan, korban akan terus memandang negara sebagai pihak yang membiarkan impunitas,” tandasnya.