• Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
Minggu, Agustus 3, 2025
  • Login
No Result
View All Result
NEWSLETTER
Narata
  • Home
  • News
  • Indepth
  • Komunitas
  • Lingkungan
  • Olahraga
  • Home
  • News
  • Indepth
  • Komunitas
  • Lingkungan
  • Olahraga
No Result
View All Result
Narata
No Result
View All Result

Antara Jarum Suntik dan Stigma: Perjuangan Imunisasi Anak Berkebutuhan Khusus

by Aan
Juli 24, 2025
in Indepth
Anak berkebutuhan khusus yang mengidap cerebral palsy di Kota Medan. (Foto: narata/aan)

Anak berkebutuhan khusus yang mengidap cerebral palsy di Kota Medan. (Foto: narata/aan)

Narata.co, Medan — Ratna Sari Dewi tak pernah menyangka anak ketiganya, KD, akan mengidap cerebral palsy hipotonia (kondisi otot lemas). Saat lahir di bulan Desember delapan tahun lalu, KD tampak sehat walau lahir lebih cepat sebulan dari perkiraan. Tak ada tanda-tanda gangguan pada janin saat KD masih di dalam kandungan ibunya. Semua tampak normal, hingga seminggu setelah kelahiran, KD mulai menunjukkan hal tak biasa.

“Ketika usia 7 hari dan lepas tali pusar, anak saya itu dimandikan oleh neneknya. Di situ anak saya mulai tremor. Saya kira kedinginan. Ternyata kami tidak tahu kalau itu kejang. Itu sering terjadi,” kata Ratna saat ditemui baru-baru ini di Kota Medan. 

Sejak saat itu Ratna kerap membawa anaknya ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan tindakan medis. Ketika KD memasuki usia 9 bulan gadis kecil itu didiagnosis epilepsi. Puncaknya saat berusia 13 bulan dokter menyatakan mengidap cerebral palsy. Kenyataan itu harus diterima Ratna. Meski air mata tak menetes, tapi sorot matanya menunjukkan duka yang dalam. Air matanya seakan mengendap tertahan oleh tekad untuk tetap tegar.

“Kondisi cerebral palsy itu tidak kelihatan ketika lahir,” ujarnya. 

Kendati terlahir dengan kondisi demikian, KD termasuk beruntung. Semua imunisasi dasar lengkap ia dapatkan sejak bayi. 

“Imunisasi anak saya itu lengkap. Selama observasi untuk mengetahui jenis penyakitnya, KD mendapatkan imunisasi. Tidak ada kendala karena saat itu masih mudah digendong,” ucap Ratna. 

img 6248

Ratna Sari Dewi orang tua dari KD. (foto: narata/aan)

Ratna tahu tidak semua anak berkebutuhan khusus seberuntung KD, terutama dalam mendapatkan imunisasi. Imunisasi pada anak berkebutuhan khusus cukup kompleks dan seringkali dihadapkan pada tantangan medis, psikologis, dan sosial. 

Beberapa masalah utama yang sering muncul mulai dari kurangnya informasi dan edukasi. Hal itu diketahui lantaran Ratna memiliki komunitas bagi anak berkebutuhan khusus bernama Yayasan Pejuang Cerebral Palsy. 

“Kami pernah mendatangi rumah orang tua anaknya yang mengidap cerebral palsy, memang ada anak sama sekali dari baru lahir sampai tiga tahun tidak pernah kena sentuh pelayanan medis termasuk imunisasi. Itu karena orang tua kurang informasi dan belum terbuka atau seperti pasrah atas kondisi,” jelas Ratna. 

Kemudian, akses layanan kesehatan yang masih belum ramah dengan anak berkebutuhan khusus turut memperburuk kondisi untuk mendapatkan imunisasi. Fakta di lapangan masih banyak tenaga medis yang tidak mengetahui soal cerebral palsy. Minimnya pengetahuan itu membuat pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas hingga posyandu belum inklusif.

“Masih ada beberapa nakes melihat cerebral palsy itu gizi buruk, padahal bukan. Cerebral palsy itu masalah neurologis yang berhubungan dengan saraf otak. Kalau (tentang) cerebral palsy memang masih awam, tapi tidak semua nakes enggak paham,” katanya.

Menurut Ratna stigma sosial tentang anak berkebutuhan khusus juga tak luput menjadi alasan orang tua memilih tidak mengimunisasi anaknya. 

“Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah karena kondisi orang tua seperti saya banyak yang minder, malu, dan tidak terima dengan kondisi anak. Jadi, menutup diri dan tidak mau keluar mungkin karena repot membawa anaknya,” ucapnya. 

“Kemudian, enggan menanggapi pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Belum lagi tatapan sinis orang-orang yang tidak mengerti. Itu menjadi gejolak buat orang tua,” Ratna melanjutkan. 

Contoh kecil tentang masih banyak orang tua anak berkebutuhan khusus yang masih belum diimunisasi selaras dengan rendahnya capaian imunisasi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan, periode Juni 2024 hingga Juni 2025 capaian imunisasi anak masih belum optimal. 

Misalnya, pada Juni 2024 sasaran imunisasi dasar lengkap (IDL) adalah 35.085 anak, capaian di 14.025 anak (39,97 persen). Pada Juni 2025, sasaran IDL adalah 32.490 anak, namun capaian imunisasi hanya 6.184 (19,03 persen). 

Kemudian, sasaran imunisasi baduta lengkap (IBL) pada Juni 2024 adalah 33.382 anak, dengan capaian di 7.379 (22,10 persen). Pada Juni 2025, sasaran IBL adalah 35.085 anak, tapi capaian imunisasi hanya 5.051 (14,40 persen). 

Lalu, pada Juni 2024 sasaran imunisasi PCV (pneumococcal conjugate vaccine) adalah 35.085 anak dengan capaian 14.973 (42,68 persen). Pada Juni 2025, sasaran imunisasi PCV adalah 32.490 anak, namun capaian hanya di angka 6.738 (20,74 persen). 

Selanjutnya, sasaran imunisasi rotavirus pada Juni 2024 adalah 35.085 anak dengan capaian 14.008 (39,93 persen). Sedangkan, pada Juni 2025 sasaran imunisasi rotavirus adalah 32.490 anak, tapi capaian hanya 4.450 (13,70 persen). 

data imunisasi anak di kota medan

Data Imunisasi Anak Kota Medan Juni 2024–Juni 2025. (foto: narata/aan)

Data-data di atas merupakan capaian imunisasi anak secara umum. Dinas Kesehatan Kota Medan tak memiliki data tentang imunisasi kategori anak berkebutuhan khusus. 

Dinas Kesehatan Medan: Tak Ada Aturan Khusus soal Imunisasi Anak Berkebutuhan Khusus

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Medan, dr Pocut Fatimah Fitri, mengatakan tak ada aturan khusus terkait imunisasi bagi anak berkebutuhan khusus di Medan. 

“Tidak ada aturan khusus bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan layanan imunisasi,” katanya. 

Kendati demikian, imunisasi bisa didapatkan anak di fasilitas layanan kesehatan yang terdiri dari 1.268 posyandu dan 41 puskesmas di Kota Medan. Pelayanan imunisasi juga tersedia di rumah sakit dan praktik dokter spesialis anak yang berjumlah 150 fasilitas kesehatan. 

“Itu sudah memiliki memorandum of understanding (MoU) dengan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Medan,” jelas Pocut. 

Adapun vaksin dan logistik imunisasi yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan yaitu HB0 (vaksin hepatitis B), BCG (vaksin bacillus calmette-guerin/mencegah tuberkulosis), OPV (vaksin polio oral), dan PCV. Lalu, vakin rotavirus, DPT/HB/HIB, IPV (polio suntik), MR (measles-rubella), HPV (human papillovirus), Td (tetanus dan difteri), dan Dt (difteri tetanus). 

Dalam pemberian imunisasi, kata Pocut, tak ada SOP bagi tenaga kesehatan di lapangan saat melakukan vaksinasi terhadap anak berkebutuhan khusus. 

“Tidak ada SOP imunisasi untuk anak berkebutuhan khusus. Kepada ibu yang mempunyai anak bayi, baduta, balita dan anak usia sekolah disarankan agar segera melengkapi imunisasi anaknya sesuai dengan program pemerintah,” ujarnya. 

Anak Berkebutuhan Khusus Masuk dalam Kelompok Rentan

Sementara itu, Direktur Utama Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, mengatakan tenaga medis, nakes, dan kader kesehatan memang sepatutnya mendapatkan pelatihan khusus untuk mencegah stigma serta diskriminasi terhadap pasien atau masyarakat yang mengakses layanan kesehatan.

Namun, bentuk-bentuk pelatihan tersebut lebih jamak diselenggarakan oleh organisasi masyarakat sipil kepada nakes yang menerima manfaat. 

“Sejauh ini masih minim regulasi dan standar baku atau panduan yang secara eksplisit mendorong adanya program pelatihan khusus untuk mencegah stigma, terutama di tahap pre-service maupun in-service training. Padahal, pedoman dan prosedur teknis untuk menangani populasi rentan atau terpinggirkan ini dibutuhkan untuk mendorong layanan kesehatan yang komprehensif dan inklusif,” kata Diah. 

Diah menjelaskan anak berkebutuhan khusus termasuk ke dalam kelompok rentan. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) turut mencantumkan komitmen untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi kelompok rentan. 

Komitmen ini merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan transformasi layanan kesehatan primer. Fakta di lapangan tentang standar operasional prosedur (SOP) yang menjamin inklusivitas dan anti-diskriminasi atau inklusif bagi anak berkebutuhan khusus belum menjadi kewajiban. 

“Sejauh ini belum banyak diketahui layanan kesehatan yang memilikinya. Kendati demikian, SOP layanan inklusif sebaiknya mencantumkan ketentuan berdasarkan karakter khas layanan

kesehatan. SOP antara lain perlu mencantumkan ketentuan tentang antrean, registrasi, komunikasi, edukasi, pendidikan anti-diskriminasi, dan pendekatan empatik dalam tindakan medis,” jelas Diah. 

Puskesmas Harus Jemput Bola untuk Peningkatan Capaian Imunisasi

Pakar kesehatan, Destanul Aulia, mengatakan imunisasi terhadap anak berkebutuhan khusus merupakan segmen yang sangat penting. Hak dasar kesehatan anak berkebutuhan khusus meliputi akses terhadap layanan yang komprehensif. 

“Itu tidak boleh diabaikan karena kesehatan dan imunisasi adalah hak dasar anak. Jadi, pemerintah harus memberikan akses terhadap anak berkebutuhan khusus,” katanya. 

Destanul menilai puskesmas menjadi contoh kecil bagian penting dalam capaian imunisasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Misalnya, orang tua anak berkebutuhan khusus tak bisa mendatangi puskesmas saat imunisasi. Maka tenaga kesehatan puskemas bisa jemput bola untuk memaksimalkan program imunisasi anak berkebutuhan khusus. 

“Akses dan waktu berkunjung seperti jemput bola harus dilakukan sehingga program-program puskesmas di Kota Medan bisa terintegrasi layanan primer,” ucapnya. 

Bukan tanpa alasan, kunjungan ke rumah masyarakat bisa dilakukan karena kader puskemas lebih mengenal apa yang menjadi kebutuhan para orang tua anak berkebutuhan khusus dalam konteks imunisasi. 

“Sehingga tidak menyia-nyiakan logistik imunisasi,” ungkap Destanul. 

Akademisi dari Universitas Sumatera Utara itu juga mengatakan ada tantangan lain dalam imunisasi anak berkebutuhan khusus yakni menghadapi sitgma di masyarakat.

“Jadi, diubah mindset para orang tua dan masyarakat terkait anak berkebutuhan khusus untuk menciptakan lingkungan yang positif,” jelasnya. 

Menurut Destanul, menghapus stigma sosial tentang anak berkebutuhan khusus bukan proses yang mudah. Hal itu harus dilakukan karena orang tua anak berkebutuhan khusus yang memiliki beban ganda kerap memilih tidak mengimunisasi anaknya untuk menghindari stigma sosial. 

“Itu membutuhkan kesabaran sehingga dibutuhkan kerja sama antar sektor. Kader-kader di puskemas atau posyandu harus diaktifkan karena mereka yang mengetahui kondisi masyarakat di lingkungannya,” pungkasnya. 

Tags: anakanak-berkebutuhan-khususcerebral-palsydinas-kesehatanMedan
Aan

Aan

Next Post
screenshot

Garasi Rumah Dinas Wali Kota Sibolga Terbakar, Satu Unit Mobil Hangus

Recommended

Agni: Village of Calamity, Gim Indie yang Turut Membicarakan Isu Mendalam Seperti Trauma Perempuan dengan pendekatan Visual Artistik

Village of Calamity: Gim Indie yang Turut Bicara Isu Trauma Perempuan

2 minggu ago
whatsapp image 2025 07 21 at 14.41.47

Masyarakat Ingin Kebersihan Kereta Api Dipertahankan dengan Baik

2 minggu ago

Popular News

    • Redaksi
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Tentang Kami
    • Kode Etik Jurnalistik

    Copyright © 2025. Narata.co. All rights reserved.

    No Result
    View All Result
    • Home
    • News
    • Komunitas
    • Lingkungan
    • Indepth
    • Olahraga

    Copyright © 2025. Narata.co. All rights reserved.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In
    Are you sure want to unlock this post?
    Unlock left : 0
    Are you sure want to cancel subscription?