Narata.co — Di tengah teriknya matahari dan padang savana yang menguning di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, seekor kadal raksasa berjalan perlahan. Matanya tajam, lidahnya menjulur setiap beberapa detik, mengendus jejak di udara. Ia adalah komodo — satwa purba yang hingga hari ini masih bertahan di belantara timur Indonesia.
Komodo bukan hanya ikon wisata atau daya tarik bagi peneliti biologi. Ia adalah simbol penting keseimbangan ekosistem dan bukti bahwa alam memiliki cara luar biasa untuk mempertahankan kehidupan meski zaman terus berubah.
Sebagai predator puncak, komodo memegang peranan penting dalam rantai makanan. Ia menjaga populasi hewan lain tetap seimbang, mulai dari rusa hingga kerbau liar. Ketika komodo terganggu, stabilitas ekosistem pun ikut terancam.
Sayangnya, keberadaan komodo kini dalam kondisi rentan. Populasinya diperkirakan kurang dari 3.500 ekor di alam liar. Ancaman datang dari berbagai arah: perubahan iklim yang memengaruhi ketersediaan air dan mangsa, aktivitas manusia yang merusak habitat, hingga tekanan pariwisata yang tak ramah lingkungan.
Meski Taman Nasional Komodo telah berdiri sejak tahun 1980 dan menjadi kawasan konservasi resmi, tantangan tetap besar. Perlu kerja sama antara pemerintah, peneliti, masyarakat lokal, dan wisatawan agar keberadaan komodo tidak hanya lestari di buku pelajaran, tetapi juga di tanah tempat ia dilahirkan.
Komodo mengajarkan manusia satu hal penting: bahwa mempertahankan kehidupan tak melulu soal kekuatan fisik, tetapi juga kemampuan beradaptasi. Kini, giliran kita yang harus beradaptasi — menjaga alam sebelum terlambat.