Narata.co – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan pentingnya dukungan berkelanjutan terhadap perempuan korban terdampak terorisme. Seruan ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Internasional untuk Korban Terorisme yang jatuh setiap 21 Agustus.
Komnas Perempuan menilai bahwa perempuan korban terorisme masih menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses hak-haknya sebagai korban, termasuk dalam aspek kesehatan, pengobatan, pendidikan, ekonomi, serta kesejahteraan. Selain itu, mereka juga kerap menghadapi stigma dan diskriminasi, terutama jika mengalami disabilitas permanen akibat aksi terorisme.
“Tidak sedikit perempuan korban terorisme juga menghadapi stigma dan diskriminasi, terlebih ketika dampak aksi terorisme menjadikan mereka mengalami disabilitas permanen, seperti tuli, netra, daksa, dan lainnya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih.
Dahlia menambahkan bahwa pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) fase pertama tahun 2020–2024 menjadi modal penting untuk melanjutkan dukungan kepada korban. Ia menekankan pentingnya pemetaan dan pendataan korban oleh pemerintah pusat maupun daerah agar dukungan dapat diberikan secara konsisten dan terkoordinasi.
Komnas Perempuan saat ini memantau penyusunan RAN PE fase kedua untuk periode 2025–2029. Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor, menyatakan bahwa dokumen tersebut akan memuat sembilan tema prioritas yang mencerminkan persoalan utama sepuluh kelompok sasaran, antara lain perempuan, anak, pelajar, pemuda, mantan narapidana terorisme (napiter), minoritas agama, aparatur, dan penyelenggara negara.
“RAN PE bukanlah program yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan isu-isu krusial yang dihadapi perempuan, seperti kekerasan di ranah privat dan publik, perkawinan anak, intoleransi, regulasi diskriminatif, serta politisasi agama dan identitas,” kata Maria.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sekendar, menyampaikan empat rekomendasi utama untuk pelaksanaan RAN PE fase kedua. Pertama, perlunya mekanisme rujukan (referral) khusus untuk pendampingan dan pemulihan perempuan korban terorisme karena pola kekerasannya berbeda dengan kekerasan berbasis gender (GBV) pada umumnya.
Kedua, penguatan organisasi atau paguyuban korban agar dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam memastikan pemenuhan hak-hak korban, khususnya terkait kesehatan, pemulihan trauma, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga, pentingnya identifikasi korban berdasarkan tingkat kebutuhan, termasuk korban yang masih memerlukan penanganan medis dan psikologis.
“Keempat, perlunya dukungan terhadap keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan guna mendorong budaya damai, perlindungan, dan pencegahan kekerasan di berbagai sektor kehidupan berbangsa,” pungkas Daden.



