Narata.co — Amnesty International Indonesia mengecam bertambahnya korban meninggal dan penangkapan aktivis HAM terkait unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025. Direktur Eksekutif Amnesty, Usman Hamid, menegaskan perlunya penyelidikan independen dan penghentian praktik represif.
“Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali, dan dua pendamping hukum YLBHI di Manado dan Samarinda. Ini menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratis dan persuasif,” kata Usman dikutip dari keterangan resminya, Rabu (3/8/2025).
Usman menekankan polisi harus mengutamakan pendekatan demokratis dan dialogis, serta menghormati hak berkumpul dan berekspresi warga. Ia menilai penembakan gas air mata ke kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan di Bandung membahayakan warga, termasuk korban yang menjadi posko medis unjuk rasa.
“Kami mengecam keras penggunaan gas air mata yang berlebihan. Negara harus melakukan investigasi independen atas kematian sepuluh warga selama aksi unjuk rasa dan memastikan aparat bertanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, ditangkap aparat Polda Metro Jaya di Jakarta Timur, Senin malam (1/9/2025). Saat itu Delpedro sedang berada di kantor Lokataru Foundation.
Polisi menggeledah kantor tanpa surat resmi dan diduga merusak kamera CCTV. Delpedro juga tidak diperbolehkan menghubungi keluarga atau pengacara sebelum ditetapkan tersangka dengan berbagai pasal, termasuk Pasal 160 KUHP dan Pasal 28 ayat (3) UU ITE. Kini, Delpedro telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penghasutan aksi anarkis lewat media sosial.
Aktivis lain yang ditangkap termasuk Khariq Anhar (Universitas Riau) di Tangerang, serta dua pendamping hukum YLBHI di Manado dan Samarinda. Sementara itu, Syahdan Husein dari Gejayan Memanggil dilaporkan ditangkap di Bali, namun Polda Bali membantah kabar tersebut.
Selain itu, polisi menembakkan gas air mata ke kampus Unisba dan Unpas pada dini hari 2 September. Polda Jabar menyatakan tembakan diarahkan ke jalan umum, namun angin mengarahkannya ke area kampus. Amnesty menilai tindakan ini berisiko tinggi dan dapat memicu luka serius atau kematian.
“Negara harus mengutamakan akuntabilitas, evaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan rakyat, serta memastikan penegakan hukum berdasarkan prinsip HAM. Pelabelan unjuk rasa sebagai anarkis, makar, dan terorisme justru memperkuat praktik represif,” pungkas Usman.



