Narata.co, Simalungun – Ratusan orang pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerang Petani Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Senin (22/09/2025). Sebanyak 6 orang masyarakat adat terluka akibat hantaman benda tumpul.
Penyerangan melibatkan ratusan orang pekerja yang diduga dari PT TPL, mulai dari petugas keamanan, pekerja buruh harian lepas (BHL), dan oknum preman bayaran.
Mereka mengenakan seragam hitam, membawa persenjataan lengkap seperti parang, stik setrum, batang kayu, helm berkaca, penutup wajah, tameng rotan, dan sepatu lars menyerupai pasukan Brigade Brimob.
Mereka menyerang, memukul lalu melempar batu ke masyarakat adat Lamtoras di Posko Buntu Pangaturan.
Dari video yang beredar, seorang perempuan berinisial DL (34), warga Lamtoras Sihaporas juga menjadi korban kebiadaban ratusan pekerja TPL ini yang menyebabkan bagian wajahnya mengalami luka dan berdarah.
Tak hanya itu, tiga orang lainnya yakni SA (63), PS (55), dan ES (44) juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Nurleli Sihotang, Koordinator Divisi Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mengutuk keras tindakan brutal dan kekerasan para pekerja TPL terhadap Masyarakat Adat Lamtoras.
Bakumsu mendesak agar kepolisian memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap Masyarakat Adat, menindak tegas para pelaku kekerasan, serta menghentikan segala bentuk tindakan refresif dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat.
Menurutnya, penyerangan dan kekerasan yang dialami oleh anggota komunitas Masyarakat Adat Sihaporas bukti nyata kelalaian negara yang abai memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap Masyarakat Adat.
“Padahal konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi sebagaimana terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) sudah sangat jelas mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya,” Katanya saat diwawancarai melalui aplikasi perpesanan.
Tentang Tanah Adat Sihaporas
Masyarakat adat Sihaporas diketahui telah menghuni dan mewarisi tanah leluhur secara turun-temurun 11 generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita ‘mamukka huta’ memulai perkampungan sekitar awal tahun 1800.
Masyarakat Sihaporas bukan penggarap. Bukan pendatang. Hal ini dibuktikan terdapat tujuh orang pejuang Veteran Kemerdekaan RI (LVRI).
Penjajah Belanda pernah menggunakan tanah Sihaporas untuk kebun ubi dan tanaman pinus. Belanda menerbitkan Peta Enclave tahun 1916 (29 tahun sebelum Indonesia Merdeka).
Selama ini, masyarakat adat Sihaporas rutin menjalankan prinsip tanah adat, melakukan tradisi si Raja Batak dan leluhur.
Ada Tujuh ritual adat yang diwarisi. Ragam ritual itu merupakan cara komunitas Masyarakat Adat Sihaporas menghormati dan merawat keterikatan sekaligus doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Mahakuasa dengan leluhur, dan dengan para mahluk penghuni yang terlihat maupun tidak terlihat.
Pertama, Patarias Debata Mulajadi Nabolon adalah ritual pertama dari tujuh ritual yang diwariskan. Ini adalah pesta adat untuk memuji, memuliakan, dan menyampaikan persembahan kepada Sang Pencipta. Dengan diiringi musik tradisional gondang selama tiga hari dua malam, ritual ini digelar setiap empat tahun sekali.
Kedua, Raga-raga Na Bolak Parsilaonan. Ini adalah ritual doa permohonan dan persembahan kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan diiringi musik tradisional gondang, ritual ini juga digelar setiap empat tahun sekali.
Ketiga, Mombang Boru Sipitu Suddut. Ini adalah ritual dia permohonan dan persembahan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja. Ritual ini digelar selama satu hari tanpa diiringi gondang.
Keempat, Manganjab. Ritual doa ini dilakukan untuk memohon kesuburan dan keberhasilan dalam usaha bertani, sekaligus memohon agar dijauhkan dari segala macam hama dan penyakit pada tanaman. Ritual ini diselenggarakan di ladang (perhumaan) sekali setiap tahun.
Kelima, Ulaon Habonaran i Partukkoan. Ritual doa melalui leluhur atau habonaran dan Raja Sisingamangaraja ini digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kampung dari segala macam mara bahaya dan penyakit.
Keenam, Pangulu Balang Parorot. Ritual ini dilakukan untuk berdoa kepada Sang Pencipta Alam melalui penjaga kampung dan hadatuaon supaya penduduk kampung diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala bala.
Ketujuh, Manjuluk. Ritual doa yang diselenggarakan sesaat sebelum mulai menanam ini dilakukan di gubuk atau ladang secara rutin.
Ketujuh ritual adat tersebut merupakan tradisi warisan yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Sihaporas, tetua adat Mangitua Ambarita mengatakan bahwa tradisi leluhur adalah identitas yang akan diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Oleh karena itu Masyarakat Adat Sihaporas tetap melaksanakan ritual adat sesuai dengan waktu yang ditentukan setiap tahunnya.



