• Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Kontak Kami
  • Kebijakan Privasi
Minggu, Desember 7, 2025
  • Login
No Result
View All Result
NEWSLETTER
Narata
  • Home
  • News
  • Indepth
  • Komunitas
  • Lingkungan
  • Olahraga
  • Advertorial
  • Home
  • News
  • Indepth
  • Komunitas
  • Lingkungan
  • Olahraga
  • Advertorial
No Result
View All Result
Narata
No Result
View All Result

Putusan MK Soal PPN 12 Persen Dinilai Abaikan Prinsip Keadilan

by Ghiyatuddin
Agustus 16, 2025
in News
Pemohon prinsipal mengikuti sidang putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kamis (14/8/2025) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi. (Foto: Humas MK)

Pemohon prinsipal mengikuti sidang putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kamis (14/8/2025) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi. (Foto: Humas MK)

Narata.co — Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil terkait ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Putusan dengan Nomor Perkara 11/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan sembilan hakim konstitusi pada Kamis, 14 Agustus 2025.

Permohonan uji materiil diajukan oleh berbagai kalangan, mulai dari penyandang disabilitas, perempuan pengemudi ojek online, mahasiswa, nelayan perempuan, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Para pemohon menggugat sejumlah pasal terkait PPN, di antaranya Pasal 4A Ayat (2) Huruf b, Pasal 4A Ayat (3) Huruf a, g, dan j, serta Pasal 7 Ayat (1), (3), dan (4).

Menanggapi putusan tersebut, Afif Abdul Qoyim dari Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) menyatakan kekecewaannya. Afif menilai putusan MK mengabaikan prinsip keadilan pajak, bertentangan dengan hak asasi manusia, dan melemahkan demokrasi.

“Putusan MK justru melegitimasi kebijakan PPN yang tidak berkeadilan, khususnya bagi kelompok ekonomi lemah. Tarif PPN di Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN,” kata Afif dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025). 

Menurut Afif, putusan itu membuka peluang penerapan tarif PPN hingga 15 persen. Hal ini dinilai berpotensi menekan daya beli masyarakat, meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), serta memperparah ketimpangan ekonomi.

Koalisi masyarakat sipil itu juga menyoroti sikap hakim MK yang dinilai tidak konsisten. Meskipun mengakui kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, dan transportasi harus mendapat pembebasan PPN. MK malah tetap membiarkan pasal-pasal yang dinilai merugikan masyarakat.

“Putusan ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap realitas sosial-ekonomi rakyat. Hakim MK telah merobek prinsip keadilan pajak yang merupakan amanat konstitusi,” ujar Afif.  

Koalisi masyarakat sipil menegaskan perjuangan mereka tidak berhenti dengan adanya putusan MK tersebut. Mereka akan terus mendorong sistem perpajakan yang lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebelumnya, MK menilai dalil para pemohon uji materiil terkait Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, serta j dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak beralasan menurut hukum.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam pertimbangannya menyatakan, anggapan pemohon bahwa ketentuan tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan hidup layak. Pasalnya, karena barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi dikenakan PPN tidak berdasar.

MK juga menolak dalil pemohon yang mempersoalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU HPP. Menurut MK, perubahan tarif dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan selanjutnya 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025, merupakan langkah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan negara.

Selain itu, MK menegaskan penetapan tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen merupakan kebijakan fiskal yang fleksibel. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif berdasarkan kondisi ekonomi nasional dan kebutuhan fiskal negara, dengan tetap memperhatikan aspek sosial-ekonomi masyarakat.

Terkait kewenangan pemerintah menetapkan tarif melalui peraturan pemerintah, MK menyatakan hal itu tetap berada dalam fungsi konstitusional DPR karena harus dibahas dalam RAPBN. Dengan demikian, menurut MK, prinsip no taxation without representation tetap terpenuhi.

Atas dasar itu, MK menyatakan seluruh dalil pemohon terkait Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP juga tidak beralasan menurut hukum.

Tags: Koalisi-Masyrakat-SipilMahkamah-KonstitusiMKPPN
Ghiyatuddin

Ghiyatuddin

Next Post
Ilustrasi tempat pembuangan akhir. (Foto: Alex Person via Unsplash)

Peneliti IPB Sebut Ekonomi Sirkular Jadi Solusi Krisis Ekologi

Recommended

Aske Mabel menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kelas II-B Wamena. (Foto: Satgas Ops Damai Cartenz).

Eks Anggota Polres Yalimo yang Membelot ke KKB Dihukum 8 Tahun Penjara

5 bulan ago
img 20251024 wa0010

Training Center GSI 2025 Dorong Pemain Muda Asah Kemampuan dan SportivitasGaruda Muda

1 bulan ago

Popular News

    • Redaksi
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Tentang Kami
    • Kode Etik Jurnalistik
    • Kontak Kami
    • Kebijakan Privasi

    Copyright © 2025. Narata.co. All rights reserved.

    No Result
    View All Result
    • Home
    • News
    • Komunitas
    • Lingkungan
    • Indepth
    • Olahraga
    • Advertorial

    Copyright © 2025. Narata.co. All rights reserved.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In
    Are you sure want to unlock this post?
    Unlock left : 0
    Are you sure want to cancel subscription?