Narata.co — Empat puluh satu tahun setelah tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984, keadilan bagi korban dan keluarga korban masih belum terwujud. Peristiwa yang menewaskan puluhan warga sipil akibat tindakan represif aparat Orde Baru itu masih meninggalkan luka mendalam dalam sejarah bangsa.
Tragedi Tanjung Priok bermula dari protes warga terhadap tindakan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang mencopot poster berisi kritik larangan jilbab dan asas tunggal Pancasila di musala As-Saadah. Protes tersebut dibalas aparat dengan tindakan kekerasan, termasuk penembakan, penangkapan massal, penyiksaan, hingga penghilangan paksa.
Dokumen Komnas HAM mencatat sedikitnya 79 orang menjadi korban, terdiri atas 55 luka-luka dan 23 meninggal dunia. Sebanyak 12 prajurit sempat diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc tahun 2003, namun seluruhnya lolos dari jeratan hukum melalui banding dan kasasi pada 2005–2006. Putusan tersebut sekaligus menggugurkan kewajiban negara memberi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban.
Hingga kini, negara dinilai gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kritik juga dilayangkan kepada rezim sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo yang dinilai abai, serta pesimisme terhadap pemerintahan saat ini di bawah Presiden Prabowo Subianto.
“Cukuplah tragedi Tanjung Priok, dan rentetan kasus pelanggaran HAM lainnya yang menjadi preseden buruk ketika militer ikut campur dalam urusan sipil. Namun, pola represif justru kembali berulang,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, Jumat (12/9/2025).
Pemerintah didesak untuk mengambil langkah nyata, antara lain pemulihan hak-hak korban, pencatatan administratif bagi korban hilang, memorialisasi tragedi Tanjung Priok, serta ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.
Empat dekade lebih berlalu, namun bagi keluarga korban, tuntutan atas kebenaran dan keadilan masih tetap hidup.



