Foto: Lanskap hutan di kawasan Sibolangit, Sumatera Utara. (narata/Ghiyatuddin)
Narata.co, Jakarta — Koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut Undang-Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 dan mendesak DPR RI membentuk undang-undang baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan. Saat ini pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sedang berlangsung pada pertengahan tahun 2025 di Komisi IV DPR RI.
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia, mengatakan sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Atas hal itu, UU Kehutanan No.14 Tahun 1999 sudah tidak layak dipertahankan.
“Selama 26 tahun telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan. Konflik tenurial yang tidak selesai, impunitas perusahaan penghancur hutan, dan perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi serta pangan,” katanya melalui siaran pers, Selasa (15/7).
Manager kampanye hutan dan kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyatakan selama ini negara mengurus dan mengelola hutan hanya mengutamakan kepentingan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang. Sedangkan, akses kelola masyarakat melalui hutan adat dan hak melalui perhutanan sosial sedikit sekali.
“Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” ujarnya.
Sementara itu, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menyaranka agar pemerintah harus menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal. Pasalnya, pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan saat ini hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan.
“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik monetisasi hutan dan menyelamatkan 90,7 juta hektare alam tersisa. Kemudian, berpihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas, dan iklim,” jelas Refki.
Dalam siaran persnta, koalisi masyarakat sipil turut menawarkan tiga hal yang harus ada di UU Kehutanan yang baru. Pertama, transisi kehutanan dari rezim pengurusan menjadi pengelolaan. Kedua, memastikan proses penetapan hutan adat menjadi bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan. Ketiga, pemulihan lahan hutan.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, koalisi masyarakat sipil juga memberi rekomendasi yakni menghentikan proses perubahan keempat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan menggantinya menjadi pembentukan undang-undang kehutanan yang baru.
Proses pembentukan UU Kehutanan baru wajib dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diatur di dalam Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020 tentang partisipasi yang bermakna.