Narata.co — Amnesty International Indonesia mendesak dilakukannya investigasi independen, imparsial, dan transparan atas kematian Prajurit Dua (Prada) TNI AD Lucky Chepril Saputra Namo, yang diduga tewas akibat penyiksaan oleh sejumlah seniornya di Batalyon Yonif Teritorial Pembangunan/834 Waka Nga Mere, Nusa Tenggara Timur.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan terdapat dua pelanggaran HAM serius dalam peristiwa ini, yaitu pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan dan hak untuk hidup.
“Keduanya merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Kami menilai investigasi harus dilakukan di luar institusi TNI karena adanya dugaan keterlibatan perwira dalam penyiksaan tersebut, termasuk menelusuri tanggung jawab komando,” kata Usman dalam siaran pers yang diterima narata.co, Rabu (13/8/2025).
Amnesty International Indonesia menegaskan pelaku harus diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer, yang dinilai lemah akuntabilitasnya. Usman juga mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer agar pelanggaran pidana umum oleh personel militer dapat diproses di peradilan umum, sesuai amanat UU TNI No. 34 Tahun 2004.
“Kami turut mengecam dugaan intimidasi terhadap keluarga korban, termasuk upaya pembungkaman dan penarikan ponsel milik korban. Kami meminta agar keluarga diberikan akses penuh terhadap informasi mengenai kematian Prada Lucky dan menolak segala bentuk penutupan informasi,” ujarnya.
Prada Lucky meninggal pada 6 Agustus 2025 setelah empat hari dirawat di RSUD Aeramo, Nagekeo. Ia baru dua bulan bertugas di batalyon tersebut setelah lulus pendidikan Tamtama TNI AD pada Juni lalu. Pangdam IX/Udayana Piek Budyakto telah menetapkan 20 tersangka dalam kasus ini, termasuk seorang perwira TNI AD.
Larangan praktik penyiksaan telah diatur dalam konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 5 Tahun 1998, serta Konvensi PBB Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia.



