Narata.co — Kasus penolakan ekspor udang beku Indonesia ke Amerika Serikat (AS) akibat temuan kontaminasi cesium menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mendeteksi adanya radioaktif cesium pada tiga batch produk udang dari Indonesia.
Cesium adalah logam alkali yang bisa bersifat radioaktif, seperti Cs-137, biasanya berasal dari limbah industri atau aktivitas nuklir, bukan dari makanan. Zat ini berpotensi berbahaya jika masuk ke tubuh dalam jumlah besar. Namun, dalam kasus ekspor udang Indonesia, kadar cesium yang terdeteksi jauh di bawah ambang aman FDA, sehingga risiko bagi konsumen sangat rendah.
Menurut Dr Roni Nugraha yang merupakan dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan, dan Ilmu Kelautan IPB University, kontaminasi tersebut bukan berasal dari proses produksi atau pengolahan udang.
“Ini sebenarnya bukan pencemaran dari industri perikanan. Berdasarkan penelusuran Bapeten dan KKP, cesium terbawa udara dari aktivitas peleburan logam di sekitar lokasi. Jadi sifatnya eksternal, bukan dari sistem pengolahan udang,” jelas Roni melalui keterangan persnya dikutip, Jumat (12/9/2025).
Rony menjelaskan kadar cesium yang ditemukan jauh di bawah ambang batas aman FDA, yaitu sekitar 68 Bq/kg, sedangkan batas aman berada di kisaran 1.200 Bq/kg.
“Secara teknis masih jauh dari level berbahaya. Namun karena prinsip kehati-hatian, FDA tetap meminta produk itu ditarik dari pasar,” jelasnya.
Roni menegaskan regulasi ekspor produk perikanan Indonesia sangat ketat. Perusahaan wajib memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Health Certificate, serta menerapkan standar mutu internasional seperti HACCP, BRCGS, dan ISO. Meski demikian, cesium bukan bahaya yang rutin diperiksa dalam SOP perusahaan karena zat ini tidak umum ditemui dalam produk perikanan.
“Berbeda dengan bakteri atau cemaran kimia umum yang selalu dicek. Cesium ini radioaktif buatan, tidak ada di alam bebas, sehingga tidak masuk dalam critical control point di SOP perusahaan,” terang Roni.
Ia menekankan bahwa kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat budaya mutu dan keamanan pangan di sektor perikanan. Menurutnya, edukasi kepada seluruh pemangku kepentingan sangat penting untuk menjaga kepercayaan global terhadap produk perikanan Indonesia.
“Indonesia sudah baik dalam menerapkan sistem keamanan pangan, namun kasus ini menunjukkan perlunya investigasi lebih lanjut di luar industri perikanan, misalnya ke area pabrik pengumpulan besi bekas yang diduga menjadi sumber cesium. Budaya mutu dan keamanan pangan harus terus digalakkan,” pungkas Roni.



