Narata.co, Lumajang – Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) secara resmi menutup sementara jalur pendakian Gunung Semeru pada 17–26 Agustus 2025. Penutupan ini dilakukan dalam rangka menghormati pelaksanaan Hari Raya Karo yang merupakan tradisi adat masyarakat Tengger di Desa Ranupani.
Kepala BB TNBTS, Rudijanta Tjahja Nugraha, menyatakan bahwa penutupan jalur pendakian ke Ranu Kumbolo mengacu pada surat dari Kepala Desa Ranupani tertanggal 10 Juli 2025 Nomor 400.10.2/150/427.92.12/2025 tentang permohonan izin penutupan sementara jalur pendakian Semeru.
“Pendakian terakhir ke Gunung Semeru dilakukan pada Sabtu, 16 Agustus 2025. Seluruh pendaki wajib sudah turun dan kembali ke Ranupani paling lambat Minggu, 17 Agustus 2025 pukul 16.00 WIB,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Pendakian akan dibuka kembali pada Rabu, 27 Agustus 2025. Sementara itu, kawasan wisata Ranu Regulo tetap dibuka untuk kunjungan dan kegiatan berkemah selama Hari Raya Karo berlangsung. Tiket kunjungan dapat dibeli secara daring melalui laman resmi: bromotenggersemeru.ksdae.kehutanan.go.id.
BB TNBTS mengimbau para pendaki dan wisatawan untuk menghormati budaya serta adat istiadat masyarakat Tengger dengan mengikuti aturan yang berlaku.
“Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih,” tutup Rudijanta.
Hari Raya Karo: Tradisi Suci Suku Tengger di Lereng Gunung Semeru
Gunung Semeru tak hanya dikenal sebagai atap tertinggi di Pulau Jawa, tetapi juga sebagai gunung suci bagi masyarakat adat Suku Tengger. Kawasan yang masih memegang kuat tradisi Hindu ini, terdapat perayaan sakral yang jarang diketahui luas yakni Hari Raya Karo.
Perayaan ini menjadi salah satu upacara penting bagi masyarakat Tengger, setelah Yadnya Kasada. Meski namanya menyebut Gunung Semeru, upacara ini sebagian besar digelar di kawasan Gunung Bromo. Namun, tetap menjadikan Semeru sebagai simbol kesucian dan pusat spiritual tertinggi.
Hari Raya Karo berasal dari kalender tradisional Suku Tengger yang memiliki sistem penanggalan sendiri. “Karo” berarti “dua”, menandai bulan kedua dalam kalender mereka. Perayaan ini ditujukan untuk memperingati kelahiran leluhur masyarakat Tengger, yakni pasangan legendaris Roro Anteng dan Joko Seger, yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Tengger dan penjaga keselarasan alam.
Selain sebagai penghormatan kepada leluhur, Hari Raya Karo juga menjadi momen refleksi spiritual, pembersihan batin, dan penyucian diri, baik secara individu maupun komunal.
Meski tak semua ritual dilakukan di Gunung Semeru secara langsung karena medannya yang berbahaya, namun Semeru tetap diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa, sehingga arah persembahyangan dan penghormatan selalu ditujukan ke gunung tersebut.
Dalam kepercayaan Hindu Tengger, Gunung Semeru dipercaya sebagai pusat kosmis dan poros dunia, sama seperti Gunung Mahameru dalam mitologi Hindu. Hal ini membuat Semeru menjadi simbol spiritual utama, sekaligus peneguh identitas masyarakat Tengger yang menjaga tradisi leluhur secara turun-temurun.
Hari Raya Karo menjadi bukti kuat bagaimana kepercayaan lokal, spiritualitas, dan kearifan adat tetap hidup di tengah modernitas, mengakar kuat di kaki Gunung Semeru yang agung.