Narata.co, Jakarta – Refleksi Hari Guru Nasional tahun ini dihadapkan pada fakta hasil TKA (Tes Kemampuan Akademik) 2025 yang menunjukkan nilai matematika secara nasional ternyata jeblok. Ini sebenarnya tidak mengejutkan sama sekali. Sebab, hasil assessment tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan data yang sama.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sepakat dengan pernyataan Mendikdasemn bahwa yang salah bukanlah murid. Namun, dalam penjelasannya, JPPI menyayangkan pernyataan Mendikdasmen yang terkesan menyalahkan guru karena menyoroti soal cara mengajar guru matematika yang masih buruk.
Pernyataan menyalahkan guru, juga pernah dilontarkan oleh Presiden Prabowo saat mengunjungi SMPN 4 Kota Bekasi, (17/11/2025). Menurut Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, Pernyataan ini jelas lempar tanggung jawab dan menyalahkan pihak lain.
Bila nilai murid yang buruk itu terjadi di satu sekolah, masalah itu bisa dialamatkan ke guru di sekolah tersebut. Namun, ketika kondisi kompetensi yang buruk, dan juga nilai matematika yang jelek terjadi secara masif di seluruh Indonesia, ini jelas merupakan indikator kegagalan sistemik yang dikelola oleh negara, bukan kesalahan guru semata.
“Ketika nilai matematika ambruk secara nasional, masalahnya bukan di ruang kelas, melainkan di ruang perumusan kebijakan. Ini adalah bukti kegagalan sistem, bukan kegagalan guru,” tegas Ubaid Matraji.
Kegagalan Sistemik yang Diabaikan Pemerintah
Negara terus-menerus mengabaikan akar persoalan yang membelit dunia keguruan:
1. Sistem Kasta Guru yang Merusak. Diskriminasi struktural antara guru ASN dan honorer, serta antara guru negeri dan swasta, merupakan kebijakan yang memecah belah dan melemahkan martabat profesi guru.
“Bagaimana mungkin mutu pendidikan merata, jika guru sendiri diperlakukan secara tidak adil? Sistem kasta ini adalah penghinaan dan penghambat utama peningkatan kualitas,” tegas Ubaid.
2. LPTK: Pabrik Guru yang Rusak. Kampus-kampus keguruan yang merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang berperan sebagai pencetak guru, terbukti gagal menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten. Negara membiarkan “pabrik” ini rusak, tetapi justru menyalahkan “produk”nya.
“Menyalahkan guru yang dihasilkan LPTK yang bobrok adalah kemunafikan. Tanpa reformasi total LPTK, krisis kualitas guru akan menjadi warisan abadi,” papar Ubaid.
3. Pengembangan Kapasitas yang Semu dan Tidak Berkelanjutan. Guru dituntut untuk menjadi profesional, namun negara tidak menyiapkan sistem dan menyediakan ekosistem pengembangan profesional yang sistematis, berjenjang, dan berkelanjutan. Ganti menteri, ganti kebijakan peningkatan kompetensi guru. Ini diperparah dengan sistemnya yang tidak sistematis dan tidak berkelanjutan.
“Program pelatihan guru seringkali hanya proyek administratif dan seremonial belaka. Tidak ada transformasi kompetensi yang nyata,” tambahnya.
Panggilan Khusus untuk Presiden dan Menteri Keuangan: Ini Soal Politik Anggaran, Bukan Teknokratis
JPPI menegaskan bahwa semua janji perbaikan akan menjadi omong kosong tanpa dukungan anggaran yang memadai dan berpihak. Justru yang terjadi saat ini adalah pengurangan anggaran fungsi pendidikan dan pengalihan dana ke program-program yang tidak menyentuh inti persoalan pembelajaran, seperti program Makan Bergizi (MBG).
JPPI menghargai niat baik Presiden dengan program MBG, namun menolak keras jika program tersebut menggerus alokasi anggaran yang seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru.
“Jika MBG dianggap penting, carilah sumber anggaran lain. Jangan sekali-kali mengorbankan hak konstitusional guru dan masa depan pendidikan bangsa hanya untuk mendanai program yang sifatnya tambal sulam. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tegas Ubaid.
“Pemotongan 20% APBN pendidikan adalah tindakan brutal yang menyakiti guru, membunuh motivasi, dan mengubur masa depan anak bangsa. Presiden Prabowo dan Menkeu harus menghentikan kebijakan serampangan dan melanggar pasal 31 UUD 1945 ini,” serunya.
Tuntutan: Alarm TKA 2025, Saatnya Negara Berbenah
Hasil TKA 2025 adalah alarm keras yang seharusnya membangunkan pemerintah dari kelambanan. Guru bukanlah masalah; mereka adalah korban dari sistem yang sakit. Oleh karena itu, JPPI mendesak:
1. Hentikan diskriminasi. Selesaikan masalah kasta guru dengan memberikan kepastian dan keadilan bagi semua, baik yang menimpa guru di negeri dan di swasta.
2. Lakukan reformasi total LPTK. Lakukan evaluasi dan reformasi lembaga pencetak guru yang kredibel dan berorientasi pada praktik.
3. Bangun sistem pengembangan kompetensi guru yang sistematis dan berkelanjutan. Jangan lakukan gonta-ganti program peningkatan mutu guru yang tidak berkelanjutan.
4. Kembalikan 20% APBN untuk pendidikan dan peningkatan mutu guru. Stop pemotongan anggaran pendidikan untuk MBG dan alihkan dana untuk investasi jangka panjang pada guru.
“Menghormati dan memuliakan guru bukan sekadar dengan kata-kata manis di Hari Guru, tetapi dengan keberanian politik untuk membenahi sistem yang rusak dan memastikan anggaran pendidikan berpihak pada semua guru: tanpa diskriminasi sekolah-madrasah, negeri-swasta, dan guru ASN-honorer,” tutup Ubaid Matraji.
Selamat Hari Guru Nasional 2025



